Ibuku Tak Seperti Para Ibu |
Jamil az-Zahawi, “Generasi sebuah ummat tidak akan pernah hebat, jika para ibunya tidak mau peduli.” Sedangkan penyair dari lembah Nil, Mesir, Hafidh Ibrahim menggubah syair, “Ibu adalah madrasah, yang jika kamu menyiapkannya, berarti kamu telah menyiapkan generasi yang kesatria.”
Para ibu sebenarnya adalah para arsitek peradaban sejati. Jika mereka cerdas dan cermat memainkan perannya, maka akan hadir dari sentuhannya generasi-generasi unggulan. inilah sepenggal kisah tentang lahirnya seorang ulama’ besar dari asuhan seorang ibu yang istimewa.
Namanya Robi’ah bin Abi Abdirrahman. Namun sejarah lebih mengenalnya dengan sebutan Robi’atur Ra’yi. Robi’ah artinya musim semi. Ro’yi artinya pendapat.
Baca Juga : Amalan Yang Wajib Istiqomah
Orang yang idenya, pendapatnya, pemikirannya, selalu segar dan indah bagai musim semi. Genius. Tidak salah jika nama ini disandang oleh mufti besar kota Madinah di zamannya.
Robi’ah lahir tidak dalam keadaan yatim. Namun ia menjalani hari-hari layaknya anak yatim. Sejak kecil sampai tumbuh dewasa, orang yang sempat menimba ilmu dari Anas bin Malik ini murni hanya mendapat sentuhan kasih sayang dari ibunya.
Ayahnya pergi saat dia masih dalam kandungan sang ibu. Berangkat ke Khurasan untuk tugas perang selama dua puluh tujuh tahun. Waktu yang sangat panjang. Tanpa kabar. Tanpa berita. Masih hidupkah? Atau bahkan sudah syahid di medan laga? Tidak ada yang tahu pasti.
Akhirnya, ibunya lah yang harus berjuang, meski dalam kesendirian. Mendidik dan membesarkan Robi’ah kecil, hingga kemudian menjadi ulama’ paling cerdas saat itu.
Ibuku Tak Seperti Para Ibu |
Dari sinilah mahakarya sang ibu itu dimulai. Ketika ia menyuruh buah hatinya untuk menghafal al-Qur’an di Masjid Nabawi. Bisa dibilang, ini tradisi masyarakat muslim hari itu. Menyuruh anak menghafal al-Qur’an sebelum belajar ilmu yang lain. Dan di tangan seorang guru yang tulus, Robi’ah mampu menghafal al-Qur’an dalam usia yang masih sangat belia.
Selanjutnya, sang ibu menyuruhnya untuk mengikuti dengan baik halaqah-halaqah ilmu yang ada hari itu. Tidak kemana-mana. Cukup di Masjid Nabawi yang sampai hari itu terus memancarkan cahaya ilmu. Banyak halaqah disana. Selesai mengikuti satu halaqah ilmu, Robi’ah berpindah ke halaqah yang lain.
Dua puluh tujuh tahun berlalu. Waktu yang tidak sebentar untuk sebuah perpisahan. Farukh, begitu nama asli ayah Robi’ah, ternyata masih hidup. Ia pulang ke Madinah. Untuk melepas rindu. Berharap bisa berkumpul kembali bersama istri dan anaknya.
Setiba di Madinah. Tepat di depan rumahnya. Masih belum ada yang berubah. Sama seperti dulu. Hati semakin berbunga-bunga. Air mata berlinang. Tak kuasa lagi untuk segera menumpahkan seluruh gelora kerinduan yang sudah lama terpendam.
Baca Juga : Tangga Yang Bermakna
Tiba-tiba suasana menjadi berubah. Sepertinya kali ini Farukh harus menunda dulu nostalgianya. Ketika tatapan matanya tertuju pada sesosok lelaki yang tanpa canggung keluar masuk rumahnya. Pikirannya sudah kemana-mana. Mungkinkah sang istri telah menikah lagi setelah sekian lama ditinggalnya? Emosi membuncah. Tanpa ragu-ragu lagi Farukh menarik lelaki itu. Dan akhirnya, mereka berdua terlibat baku hantam.
Orang-orang di sekitar rumah ramai-ramai menghampiri. Mereka hendak melerai pertengkaran itu. Hadir pula Malik bin Anas disana. Suasana semakin tegang. Hingga akhirnya, istri Farukh keluar dari rumah. Samar-samar dia mengamati wajah yang seolah masih tidak asing baginya. Setelah yakin bahwa lelaki itu adalah Farukh, suaminya, ia segera berteriak melerai.
“Tahukah kamu, siapa dia?” tanya ibunda Robi’ah kepada Farukh.
“Tidak! Siapa?” sahut Farukh singkat.
“Dia adalah anakmu. Robi’ah!” jelas wanita itu.
Merekapun berpelukan. Menatap satu sama lain. Sungguh pertemuan yang dramatis.
Kini, lengkap sudah kebahagiaan dirasakan oleh istri Farukh. Suaminya telah kembali. Anaknya pun sudah dewasa.
“Istriku, dimana kamu menyimpan uangku yang 30 ribu Dinar dulu?” tanya Farukh sesaat setelah suasana keakraban kembali muncul.
“Dulu kamu menguburnya di sebuah tempat, dan aku telah mengambilnya.” jelas sang istri.
Ketika mereka sedang bercakap-cakap, Robi’ah berjalan keluar rumah. Dengan pakaian rapi, ia hendak pergi menuju Masjid Nabawi. Kemudian wanita itu berkata kepada suaminya, “Sekarang, keluarlah untuk shalat di Masjid Nabawi. Nanti kita lanjutkan lagi.”
Ibuku Tak Seperti Para Ibu |
Hingga akhirnya pandangan matanya tertuju pada sebuah halaqah ilmu yang dihadiri banyak orang. Paling banyak bahkan dari sekian halaqoh ilmu yang ada. Iapun beranjak menghampiri halaqah itu, untuk sekedar memastikan, siapa guru yang akan menyampaikan ilmunya disitu. Pasti dia adalah seorang ulama’ yang istimewa. Farukh berjalan menghampiri, dan dengan sabar ia meminta jalan kepada orang-orang yang duduk berdesakan, sehingga bisa mendapat tempat didepan.
Ternyata, Robi’ah, puteranya, yang menjadi guru di halaqah itu. Rabi’ah tahu, ayahnya sedang berjalan mendekat kepadanya. Rabi’ah segera berpaling. Pura-pura tidak melihat. Farukh semakin penasaran, masih belum jelas, siapa sebenarnya ulama’ yang dikelilingi oleh murid paling banyak di Masjid Nabawi itu. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk bertanya kepada salah seorang di sampingnya.
“Kamu tahu, siapa orang itu?” tanyanya sambil menunjuk ke arah Rabi’ah yang sedang khusyuk menyampaikan ilmu.
“Itu adalah Robi’ah bin Abi Abdirrahman.”
“Sungguh, Allah telah memuliakan anakku.” katanya lirih. Air matanya ikut berlinang.
Farukh pulang ke rumah. Hatinya sangat bahagia. Segera ia menemui istrinya.
“Sungguh, aku melihat anakmu sangat dimuliakan, melebihi para ahli ilmu lainnya.” kata Farukh berapi-api, meluapkan seluruh kebahagiaannya kepada istrinya. Air mata kembali mengiringi obrolan tersebut.
“Kira-kira, mana yang lebih kamu sukai; uang 30 ribu Dinar atau kemuliaan anakmu sebagaimana yang telah kamu lihat?” jawab sang istri.
“Demi Allah, jelas aku memilih kemuliaan anakku.”
“Sungguh, aku telah menggunakan semua uangmu untuk membiayai kebesaran anakmu.” jelas sang istri.
“Demi Allah, kamu tidak menyia-nyiakan uangku.”
Begitulah kurang-lebih kisahnya.
Inilah salah satu contoh ibunda yang cerdas. Yang berorieantasi kepada kebesaran dan kehebatan buah hatinya. Banyak uang yang dimilikinya. Dan suaminya pun sedang tidak bersamanya. Namun ia tahu, bagaimana cara menginfestasikan uang itu. Ia gunakan untuk membiayai kebesaran anaknya di kemudian hari.
Memang, kebesaran tidak dapat dibeli dengan uang yang banyak sekalipun. Buktinya, betapa tidak sedikit keluarga yang hidup dalam gelimangan harta, namun tidak mampu melahirkan generasi yang baik dan hebat. Karena materi hanyalah satu dari sekian banyak sarana yang ada. Yang lebih penting adalah pembentukan mentalitas yang luhur.
Dan benarlah langkah yang dilakukan oleh Ibunda Robi’atur Ra’yi. Karena pada akhirnya, anaknya benar-benar menjadi ulama’ besar di usia yang masih sangat belia. Kurang dari dua puluh tujuh tahun dari usianya, Robi’ah sudah menjadi guru besar di Masjid Nabawi, dengan halaqoh paling besar dan ramai.
Dikelilingi oleh para senior ulama’ Madinah hari itu. Bahkan, banyak diantara muridnya yang kelak menjadi orang hebat sepertinya. Ada Malik bin Anas. Ada Laits bin Sa’ad. Ada Hasan bin Zaid. Ada Sufyan ats-Tsauri. Dan masih banyak lagi.
Dan yang sangat menakjubkan dari itu semua adalah sebuah pernyataan salah seorang muridnya, Malik bin Anas, tentang kebesaran dan kedalaman ilmu Rabi’ah. Ketika Robi’ah meninggal dunia di tahun 136 Hijriyah, Malik bin Anas berkata, “Kini telah hilang manisnya ilmu Fiqih.”
Mereka menjadi manusia besar dan hebat, disebabkan adanya sosok ibu yang istimewa.
Oleh Ustadz Herfi G. Faizi
Post A Comment:
0 comments so far,add yours